“Uta, sini bagianmu.” Dengan cepat Nocchi mengambil setengah
dari tumpukan selebaran yang ada di tanganku. Sudah hampir sebulan, aku
menjalani kehidupanku di sekolah yang lebih cerah. Dulu aku yang berpura-pura
kuat tanpa pernah sekalipun bilang tidak jika seseorang minta bantuanku, kau
tahu? Dulu aku selalu tidur pukul 1 pagi untuk mengerjakan tugas, agar besok
semua “teman” ku yang tidak mengerjakan tugasnya bisa dengan mudahnya menyalin
punyaku. Itu gambaran teman yang dulu ada di pikiranku.
Karena suatu insiden, aku yang sekarang mulai memberanikan
diri menunjukkan “siapa aku sebenarnya”. “No..Nocchi?” Aku berusaha meraih
kertas-kertas yang direbut Nocchi,
“Hhh, bilang…?”
“Hah? Apa?”
“Ari..ga..? Hmm?”
“Kh? T - Terimakasih Banyak Nodako-Sama!”
Dia menahan tawanya, kurasa sekarang mukaku sangat aneh.
Aku berjalan bersamanya tanpa berkata-kata. Lorong sekolah
yang sunyi, hanya suara tetes air bekas hujan dan suara langkah kaki yang
terdengar di telingaku. Kini, sampai aku melewati kelasku, semuanya yang beradu
pandang denganku tersentak dan melebarkan senyum, aku menyambutnya. Walaupun
kini ada sebagian murid di kelasku yang mulai menjaga jarak denganku, aku tidak
keberatan jika mereka tidak suka dengan sifatku, aku sudah berusaha semaksimal
mungkin, betul?
“Terimakasih Uta-san dan Nodako-san!” Sensei mengambil
selebaran ditangan Nocchi dan menaruhnya di mejanya yang penuh dengan kertas.
“Jadi, bagaimana rapat kelasnya?” Tanya sensei, “Semua sepakat akan membuat
café Cosplay. Ini anggaran yang di perlukan untuk semua keperluan.” Jawab
Nocchi tegas. “Hm.. Baiklah, ini sensei ambil dulu. Kalian bisa pergi
sekarang.”
“Nocchi? Ini sungguhan? Masa? Itu lebih mirip.. em..” Aku
mulai membanyangkan bagaimana kacaunya nanti café kelas kami, “Ha? Apa?”
“K-k-kamu engga berpikir, nanti café-nya bakalan jadi sarang orang-orang.. em..
otaku..? maniak.” Aku menyipitkan mataku, melihat dinding putih di sebelahku,
“Pfffttttt!” “A-aku serius!”.
Pulang sekolah, aku kembali melihat pohon tua itu. Aku
bersandar, nyaman sekali, sangat sejuk disini. “Uta, Kami kecewa padamu.”
Terlintas kata-kata itu di telingaku, aku menoleh, tong sampah yang penuh
dengan air dibanjurkan kepadaku. Aku tak bisa melihat, mataku perih, kudengar
suara tawa dan suara itu menjauh, menjauh, dan hilang.
Aku berjalan menuju lokerku dengan basah kuyup. Kubuka
lokerku, baju olahragaku juga basah. “Pakai saja.” Kudengar suara dari
belakangku, Nocchi. Dia menyodorkan baju olahraganya. “E-eh? Tidak usah, nanti
merepotkan.” Aku memandang sepatu Nocchi yang penuh lumpur. Tanpa berkata-kata,
dia menaruh baju olahraganya di kepalaku, “Aku kutuk kalau ga kamu pakai.” Dia
duduk di sebelah lokerku, “Sana ke ruang ganti.” Dia menatapku serius.
…Kebesaran. Aku melihat cermin, baju kebesaran dan celana
yang terlipat-lipat, lebih terlihat seperti pendekar jaman dulu yang memainkan
samurai. Aku berjalan sambil menjinjing celana yang kebesaran ini. “Kag-Kagoya?
Kenapa?” Teman sekelasku, namanya Ootome, cowok berambut cokelat tua, lebih
pendek dari Nocchi, “Tadi hujan, aku kebasahan.” Alasan yang kuajukan cukup
masuk akal kan? Barusan memang hujan. “Bajumu, kebesaran?” KH? Kalau yang ini, aku tak tau harus beralasan apa. “Bajunya,
Punyaku.” Seketika Nocchi menarik kerah bajuku, menarikku pergi meninggalkan
Ootome.
“Nocchi!? Ha-Hatchii!” Dia berjalan, ah bukan, setengah
berlari. Langkah kakinya cepat sekali. Em.. dia cemburu? Mukaku langsung merah
padam. “Café Cosplay nya, tinggal kamu yang belum ditetapkan akan pakai baju
apa.” Singkatnya, dia hanya menarikku agar.. ahh.. tadi aku berharap lebih.
“..MAID?” Undian yang kutarik, tertulis Maid Nekomimi. “em..
Uta! Mau tukeran denganku?” Mamiko, memperlihatkan undiannya, Baju Karate! Ini
dia! Mataku berbinar, aku menyodorkan undianku, tinggal sedikit lagi Mamiko
meraih undianku, lagi-lagi, Nocchi mencengkram tanganku kuat, “A-aduh!”.
“A-apaan sih!?” Aku mulai membentak, dia menoleh “Baju
karatenya, pendek. Kau tau? Lebih pendek dari baju maid-mu.” GAAHHH?!
Aku berjalan kembali ke kelasku. Kulihat warna langit
semakin kelam, aku yakin sebentar lagi akan hujan, lagi. Kulihat mejaku penuh
dengan baretan dan kotoran tapak sepatu, ah biarlah. Seperti ada secarik kertas
yang sudah teremas, terinjak olehku, tertulis Baju Karate.
Mamiko? Nama itu terus membayang di kepalaku. Kalian mungkin
tidak tau, sungguh, dia orang pertama yang menyapaku setelah aku menunjukkan
siapa aku sebenarnya. Ah tidak, tidak, aku tidak membencinya, hanya yang ingin
kutahu, kenapa dia melakukannya?
Keesokan harinya, 2 hari sebelum acara.
Kebiasaan lamaku memang belum sepenuhnya hilang, kata Nocchi
juga, jangan sampai kamu benar-benar seenaknya menunjukkan emosi mu, itu
mengganggu.. katanya. Oke, kembali lagi. Aku, meskipun “sedikit” keberatan, aku
tetap mengajukan diri untuk menjadi panitia. Seingatku, tugas panitia banyak
sekali, tapi, dengan begitu, aku punya alasan agar tidak memakai kostum otaku
abnormal itu.
Hari ini, aku melirik-lirik ke bangku Mamiko, hanya ada tas
disana, sepertinya dia bolos sepenuhnya hari ini. Yah, walaupun hari ini memang
diisi oleh pelajaran “FREE CLASS FOR CLASS MEETING”.
Aku mulai melangkah keluar, melewati lorong, melewati ruang
guru. Beberapa langkah lagi, aku akan berada tepat di depan tempat loker, ah,
kulihat Mamiko. Dia membawa secarik kertas, menaruhnya di loker, loker ..
Nocchi? Kuamati dari jarak yang agak jauh, itu memang loker nomor 14. Makin
penasaran, jangan-jangan.. Mamiko benar-benar menindasku? Dan kali ini dia mau
melibatkan Nocchi?
Aku tak dapat membuka lokernya. Rasanya berat untuk
membukanya. Kalau dia diganggu juga, itu salahku bukan? Dia yang selalu
melindungiku, betul? Kudengar suara langkah kaki, langkah kaki yang sangat
khas, suaranya seperti membelai lantai. Kalian tau, aku yakin kalian tau,
Nocchi yang berdiri di belakangku,
“Ngapain didepan lokerku?”
“Kh! Engga apa-apa kok!”
“..Kamu memasukan sesuatu kedalam lokerku?”
Dia menatapku, aku menggeleng-geleng. Dia membuka lokernya.
Ah, yang kukira itu adalah kertas, ternyata adalah surat. “Stiker love?” Wa?
Mamiko?! “Ck? Apaan nih” dia membuka suratnya dengan asal-asalan. Sedikit
melirikan mata, aku.. ah! Benar, Mamiko memang menyimpan perasaan kepada
Nocchi! Mungkin motif dia menindasku karena.. cemburu? Hal sesepele itu, eh,
sepertinya aku juga akan mengalami nya? Mungkin aku bisa memakluminya.
Aku akan mencoba sekali lagi, meyakinkan Mamiko. Hari ini,
aku membuka pintu kelas,
“Selamat pagi!” seruku,
“…”
“..psstt..”
Nuansa aneh, mungkin semua tak ada yang menatapku, tak ada
yang membalas sapaanku. Aku tau sensasi ini, seperti saat aku kelas 2 SD, aku
pindahan dari Tokyo, saat sampai disana, aku diolok-olok. Semua tak ada yang
mau menjadi temanku, mereka bilang, aku sombong. Aku tak tau bagian mana dari
diriku yang membuat mereka tak mau menjadi temanku.
Sampai istirahat, tak ada yang menghampiri mejaku, mengajakku
mengobrol, atau hal-hal lain. Semua mengacuhkanku. Daripada aku yang dulu,
sekarang aku lebih menderita, yap, aku merasa aku kehilangan semua
temanku. Aku kembali ke pohon tua.
Seperti tertarik magnet, kakiku melangkah dengan sendirinya menuju pohon itu.
Tetes demi tetes air mata mulai keluar dari mataku. Aku tak
dapat menyekanya. Nocchi, dimana kamu? Kenapa disaat-saat aku butuh kamu, kamu
tak dapat berada disisiku. Mungkin, dia berada disamping Mamiko. Mamiko, gadis
cantik yang mempesona, jika kalian bisa mengobrol dengannya, dia langsung
menyesuaikan diri denganmu. Mungkin Nocchi juga jatuh cinta padanya.
Disana, mungkin sekarang café cosplay sedang laris. Tak ada
yang menyadari, ada 1 murid yang tak ada disana, yang kilauannya paling redup,
aku tau, walaupun aku tak ada, semua akan baik-baik saja kan?
Aku terlelap, mimpi… ahh.. aku melihat Nocchi tersenyum
padaku, sangat manis. Dia memanggil namaku, “Uta..” perlahan, dia menjauh,
menjauh.. “Noocch..” suaraku menghilang, kakiku seperti tak dapat bergerak. Aku
mencoba untuk meraihnya, semakin dekat, semakin dekat, saat aku dapat meraihmu,
kau pergi meninggalkanku.
Mulutku dapat terbuka lagi, “Noooocchhhhiiiiiiiiii!!!” aku
menjerit, seketika aku terbangun, kulihat dua pasang bola mata ada di depanku,
warnanya biru laut, Nocchi. “Aah, kamu disini. Semua menunggumu! Cepatlah.”
Mungkin hanya 5 cm, jarak mukaku dengan mukanya. Aku masih kaget, begitu sadar,
aku langsung menampar wajahnya, reflek. “aduh! Apaan sih?” Dia mengusap-usap
wajahnya yang memerah karena kutampar. “Tadi kamu lihat Mamiko?” aku
memberanikan diri, “Yah.. entahlah..? cieee kangen ya?” JLEB, mulutku, hatiku,
dan otakku tidak berjalan seirama.
Setelah aku mengucapkan itu, dia hanya menatap mataku dengan
jeli, aku memalingkan wajahku. Ah, setelah kuamati, “Pffftttt!!!! Kamu pakai
kostum butler?” aku menahan tawa, yang kulihat dia memakai kostum butler, yap,
hanya atasannya saja. “Heh! Aku tak sempat memakai bawahannya dan sepatunya
tau, aku mencarimu!” seru Nocchi, ! Nocchi mencariku?.
AHHH aku tau, kalian pasti membayangkan Nocchi tidak pakai
celana dan sepatu, apa-apaan. Dia memakai celana sekolah yang bewarna
putih-biru, tapi.. memang benar dia tak memakai sepatu, kakinya penuh lumpur
dan rumput.
“Ehhh?” Aku masih kaget dengan perkataan Nocchi, “Em..
teman-teman sekelas yang menyuruhku mencarimu. Kamu itu mengganggu ya? Sadar dong,
jangan Cuma menunggu dibangunkan seseorang.” PLAKK! “Aduh! Sakit!” Aku tau dia
memang benar, tapi… Aku langsung berlari meninggalkan Nocchi.
-Tetap bersambung-
'w')/